Skip to main content

The Pursuit of HappYness

Jika disuruh menyebutkan siapa aktor favorit saya, Will Smith akan menjadi salah satu yang saya sebutkan setelah Tom Hanks. Bagaimana dengan aktris, jika aktor saya punya banyak jagoan maka saya hanya akan memilih Helena Bonham Carter sebagai aktri favorit saya, Peran Helena dalam Fight Club (1999),Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street (2007) dan yang paling baru The King's Speech (2010)membuat saya langsung jatuh cinta pada aktris kelahiran Golders Green, London, empat puluh enam tahun lalu.
Kali ini saya akan coba mereview film karya Gabriele Muccino bergenre drama keluarga berjudul The Pursuit of HappYness. Film ini mungkin tidak begitu terkenal seperti The Departed, Apocalypto, Pans Labyrinth, dan Pirates of The Carribean; Dead Man's Chest yang release di tahun yang sama. Film yang diangkat berdasarkan kisah nyata ini ditulis dengan begitu menarik oleh Steve Conrad dari buku yang berjudul sama. Film yang mengisahkan perjalanan hidup Chris Gardner ini diperankan oleh Will Smith dan anak laki lakinya Jaden Smith. Sebuah kisah tentang keluarga sederhana yang berjuang untuk hidup dan mengejar kebahagiaan.
Chris Gardner (Will Smith) adalah sosok ayah yang sangat dekat dengan anaknya Christopher (Jaden Smith), setiap harinya Christopher diantar oleh ayahnya untuk dititipkan di sebuah pentipan anak. Chris berprofesi sebagai seorang salesman yang menjual sebuah alat scan kepadatan tulang, dia menghabiskan hampir seluruh tabungannya untuk membeli alat kesehatan tersebut dan menjualnya kembali. Chris dan istrinya Linda (Thandie Newton) harus terus berusaha untuk menjual semua alat kesehatan yang mereka beli untuk keberlangsungan hidup mereka. Satu alat kesehatan yang mereka jual sama nilainya dengan belanja sebulan mereka. Untuk membantu suaminya, Linda bekerja di sebuah binatu.
Sudah beberapa bulan terakhir Chris belum menjual satupun alat scan kepadatan tulangnya, tunggakan pajak dan sewa rumah pun menunggak, Chris dan Linda akhirnya terlibat pertengkaran walau Chris telah meminta penangguhan pembayaran tersebut. Linda menilai Chris tidak melakukan apapun untuk keluarga. Niatan Chris untuk memberi penghidupan yang lebih baik kepada Linda dan Christopher dengan mengikuti magang sebagai pialang saham di sebuah perusahaan investasi ternama.
Suatu hari saat akan mengikuti wawancara untuk posisi magang di perusahaan investasi, Chris menitipkan sebuah alat scan kepadatan tulangnya kepada seorang pengamen jalanan. Pada saat wawncara sedang berlangsung Chris melihat alatnya tersebut dibawa lari oleh pengamen tadi, Chris pun keluar dari tempat wawancara itu dan mengejar pengamen namun Chris tidak berhasil mengejar pengamen tersebut. Linda yang tidak tahan lagi dengan kondisi perekonomian keluarganya yang kian buruk, kemudia meninggalkan Chris untuk tinggal dengan saudaranya.
Suatu malam saat Chris hendak pulang ke rumah, di sebuah pemberhentian bus Chris menelpon ke rumah, Linda yang mengangkat telepon memberitahukan bahwa dia dan Christopher akan pergi meninggalkannya. Sesampainya di rumah Chris menunggu Linda mengembalikan Christopher pulang ke rumah, sedangkan Linda telah memutuskan untuk tidak tinggal bersama Chris lagi. Ketika menunggu anaknya pulang Chris mendapat telepon dari perusaan tempat dia melamar untuk posisi magang dan Chris mendapat panggilan wawancara.
Sambil mengikuti profesi barunya sebagai pialang saham berstatus magang, Chris tetap bertahan hidup dari menjual alat scan kepadatan tulang. Sempat berulang kali diminta oleh pemilik rumah untuk mengosongkan rumah sewa mereka karena telah beberapa bulan telat membayar uang sewa, akhirnya Chris dan anaknya hidup menggelandang, kadang mereka harus tidur d wc umum d sebuah stasiun kereta jika rumah penampungan di gereja tidak lagi sanggup menampung ribuan tuna wisma di san francisco saat itu. Suatu hari saat Chris menemukan alat scan kepadatan tulang yang dicuri, Chris bahkan harus rela menjual darahnya untuk membeli komponen elektronik untuk memperbaiki alat scan kepadatan tulang yang rusak.
Chris membagi waktunya untuk tetap bersama puteranya dan bekerja di perusahaan pialang saham tadi serta menjual door to door alat scan kepadatan tulang yang tinggal satu satunya. Chris memanfaatkan setiap peluang untuk tetap bisa menghidupi anaknya, karena Chris tidak ingin berpisah dari anaknya. Chris tidak ingin anaknya tidak mengenal ayahnya seperti yang Chris alami semasa kecilnya, Chris baru mengenal ayahnya ketika dia telah berumur diatas dua puluh tahun.
Berhasil menjual satu satunya alat kepadatan tulang yang tersisa Chris dan anaknya sedikit bisa bernafas lega dan bisa tinggal disebuah apartemen kecil sederhana. Usaha Chris selama ini dan niatannya untuk membahagiakan keluarganya berbuah manis, Chris menyudahi masa magangnya dengan begitu brilian dan sukses, para komisaris perusahaan tertarik dengan hasil kerja Chris selama magang dan akhirnya Chris pun ditawari untuk bekerja di perusahaan itu, Chris pun dengan senang hati menerima tawaran itu, Chris membuktikan bahwa semangat bisa membuatnya sukses dan tidak perlu menjadi seorang sarjana untuk menjadi sukses.
Seperti film film lain bergenre keluarga arahan Gabriel Muccino, film ini sangat inspiratif. Film ini untuk pertama kali saya tonton di tahun 2007 hingga saat ini mungkin sudah puluhan kali film ini saya tonton dan buat saya tetap menginspirasi.
"We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness. Thomas Jefferson"

Comments

Popular posts from this blog

Eternal Sunshine of The Spotless Mind

"How happy is the blameless vestal's lot?the world forgetting,by the world forgot.Eternal Sunshine of the spotless mind, Each pray'r accepted, and each wish resigned". Alexander Pope Maaf kalo film ini sudah terlalu lama untuk dijadikan sebuah tulisan atau ulasan dalam blog ini. Pastinya, film ini patut untuk dinonton bagi siapa saja yang sedang merasakan hal yang sama atau dalam kasus yang berbeda sekalipun. Menghapus ingatan dalam kepala kita bisa jadi pilihan yang sangat menggoda, walaupun kemudian akan banyak hal yang menjadi dampaknya. Apapun namanya, aktivitas kita berinteraksi dengan orang lain adalah pengalaman yang sangat berharga sebagai makhluk sosial yang kadang asosial. Waktu adalah hal yang menjadi dominan dalam peran keberlangsungan kemampuan memory otak kita untuk mengingat sesuatu hal. Banyak lah kalimat kalimat bijak yang mengarahkan kita untuk yakin bahwa waktu akan bisa menghapus sesuatu tak peduli itu baik atau buruk, itu senang atau baha

Hara-Kiri: Death of a Samurai

Mungkin masih lekat dalam ingatan kita, bagaimana kisah The Last Samurai (2003) yang dibintangi oleh Tom Cruise dan Ken Watanabe. The Last Samurai banyak mengangkat keadaan kultural dan segala intriknya pada masa transisi pasca restorasi Meiji. Kali ini saya tidak akan membahas apa yang terjadi dalam film The Last Samurai, kali ini saya akan mengangkat hal yang lebih detail tentang kehidupan seorang Samurai pada masa Shogun berkuasa. Hara-Kiri: Death of a Samurai inilah judul film yang akan kita bahas kali ini. Disutradarai oleh Takashi Miike dan berlatar belakang Jepang sebelum restorasi Meiji. Hara-Kiri adalah film yang diangkat dari sebuah novel karya Yasuhiko Takiguchi dengan judul Ibun rônin-ki sedangkan skenario nya ditulis oleh Kikumi Yamagishi. Film yang dibintangi Kôji Yakusho, Eita dan Naoto Takenaka ini diproduksi oleh Recorded Picture Company bekerja sama dengan Sedic International dan Amuse Soft Entertainment dengan durasi hampir dua jam. Bergenre drama film ini menyaji