Sudah lama tidak menuangkan cerita di tempat ini, hal hal menarik yang membuat hidup lebih berarti dari pada mengumpat, mencella atau bahkan caci dan makian. Banyak hal lain dalam hidup yang bisa kita bagi dengan siapapun tak berbatas jarak dan waktu.
Setelah kesibukan yang berada pada level akut dalam tiga bulan belakangan ini, akhirnya dua hari lalu saya bisa benar benar menikmati bagaimana beristirahat di kamar 4 kali 4 meter di bumi Tadulako. Jujur masih banyak pekerjaan yang nanti yang akan menyambut usai liburan singkat ini. Hal itu tidak membuat liburan sedikitpun berkurang nilainya.
Soal pekerjaan bukan hal yang menarik untuk ditinggalkan sebagai tulisan dalam blog ini. Ada satu kisah yang lebih menarik menurut saya tentang bagaimana penjabaran di paragraf pertama dalam tulisan ini. Ini soal janji dan upaya pemenuhannya yang sungguh luar biasa.
Janji makan siang, kira kira seperti itu judul janji yang diucapkan untuk dipenuhi, buat saya makan siang itu bukan soal pertukaran jasa antara satu sama lain, janji makan siang itu adalah lebih dari batas batas itu. Makanan yang dibuat oleh tangan sendiri dengan sekelumit perhitungan enak atau tidaknya hasil masakan untuk disajikan sebagai makan siang itu.
Yah niat mulia akan sangat biasa nilainya jika tidak didampingi dengan berbagai kesulitan atau soal soal yang menyusahkan, disinilah perjuangannya, pastinmya dengan tersenyum senyum sendiri apa yang kita niatkan akan kita kerjakan dengan senang hati. Sama halnya dengan janji makan siang kali ini, tidak perlu laporan jelas untuk mengetahui bagaimana ribet dan super sibuknya untuk persiapkan hidangan seporsi itu, jauh dilaur sana ada mata yang lain yang selalu memantau dan memp[erhatikan setiap gerak dan usaha kita.
Hujan dan gelap di langit makassar sejak pagi hingga berlanjut ringan malam hari, memaksa untuk bisa mencari apa yang kana disajikan sebagai janji itu. Tak peduli mungkin sakit akan mengikuti atau hal lain yang buat cemas selalu saja ada diujung mata dan pikiran.
Keesokan harinya pagi juga hadir dengan malu malu diiringi awan padat gelap hujan pun turun dengan tanpa ampun, janji itu tetap hadir dengan doa pada pemilik hujan agar menghentikan hujannya sekejap saja. Hadirlah makan siang itu didepan mata, dua kota plastik dengan ukuran yang berbeda datang dengan mentari membawakannya dihadapan. Enak dan lezat itu rasa bagaimana nikmat makan siang itu lengkap dengan menu pencuci mulutnya yang baru kali ini dirasakan oleh lidah kampung.
Canda dan tawa jadi menu penutup sore yang mulai dirundung awan gelap. Langit tidak mencerminkan apa yang terjadi di lorong sore itu, semuanya berbeda sungguh sebuah bahagia yang tiada tara. Terima kasih atas makan siang dan hujan, Terima kasih pada janji dan pemenuhannya.
Mungkin masih lekat dalam ingatan kita, bagaimana kisah The Last Samurai (2003) yang dibintangi oleh Tom Cruise dan Ken Watanabe. The Last Samurai banyak mengangkat keadaan kultural dan segala intriknya pada masa transisi pasca restorasi Meiji. Kali ini saya tidak akan membahas apa yang terjadi dalam film The Last Samurai, kali ini saya akan mengangkat hal yang lebih detail tentang kehidupan seorang Samurai pada masa Shogun berkuasa. Hara-Kiri: Death of a Samurai inilah judul film yang akan kita bahas kali ini. Disutradarai oleh Takashi Miike dan berlatar belakang Jepang sebelum restorasi Meiji. Hara-Kiri adalah film yang diangkat dari sebuah novel karya Yasuhiko Takiguchi dengan judul Ibun rônin-ki sedangkan skenario nya ditulis oleh Kikumi Yamagishi. Film yang dibintangi Kôji Yakusho, Eita dan Naoto Takenaka ini diproduksi oleh Recorded Picture Company bekerja sama dengan Sedic International dan Amuse Soft Entertainment dengan durasi hampir dua jam. Bergenre drama film ini menyaji...
Comments
Post a Comment