Skip to main content

Ilmuwan Fotografi


Sebuah sore yang tidak seperti biasanya saya duduk di sebuah kafe di satu satunya tempat yang masyarkat setempat menyebutnya sebagai mall. Bukan tanpa alasan saya akhirnya harus duduk di kafe yang tergolong mewah ini, yah bisa dilihat dari menunya yang menunjukkan nominal puluhan ribu rupiah untuk secangkir kopi kecil, entah dibuat dengan apa kopi itu. Lima menit duduk di sebuah pojok saya tidak menemukan kenyamanan di tempat ini walau duduk diatas sofa empuk berbalut bludru merah marun dan lengkap dengan sedikit pemandangan manusia manusia cantik bercelana super pendek khas anak muda zaman sekarang.

Sore itu harusnya saya berada di tempat biasanya dimana saya melakukan rutinitas pembunuh waktu untuk sedikit menggerakan otak agar tidak membusuk didepan tv dan diatas bantal, kafe yang saya maksud milik seorang senior saya di kampus tidak begitu mewah, saya mengkategorikannya sebagai kesederhanaan yang indah, yah jika dibanding bandingkan jelas terlihat jomplangnya kafe mewah tadi dan kafe milik senior saya ini. Namun bukan karena tempatnya namun karena kenyamanan yang diperoleh kita akan rela menempelkan pantat kita di salah satu kursi di tempat itu walaupun hanya sekedar numpang browsing gratis ataupun menghisap dua tiga batang roko sambil sesekali meneguk secangkir kopi susu hangat.

Apa daya saya sudah terlanjur di tempat mewah ini, sialnya saya tidak membawa jaket ataupun pakaian penghangat jenis lainnya, maklum saya agak sedikit alergi dengan pendingin udara. Badan saya yang besar ini tidak tersusun dari tumpukan tumpukan lemak yang bisa membuat hangat. Saya pun dengan sedikit kurang yakin saya memesan secangkir kopi panas.

Ditengah tengah kesibukan saya membuka satu satu website yang saya butuhkan sesekali saya terganggu dengan bunyi bunyian yang akrab dengan saya. "say cheeeseeeee........" terdengar dari sudut ruangan lainnya, saya kemudian coba mengalihkan sedikit pandangan ke arah anak anak muda seusia adik saya yang masih sma. Jumlah mereka tidak begitu banyak namun cukup membuat suasana ruangan ini layaknya studio foto yang sedang penuh dengan sekelas siswa siswi sma yang sedang foto buku tahunan. Setelah melihat tidak cukup lama ternyata mereka sedang berfoto foto ria walaupun dengan sekedar bermodalkan kamera dari telepon seluler.

Walau tidak beraturan, mereka berfoto dengan gembira jeprat....jepret kiri kanan dengan berbagai angle mulai dari gaya datar datar saja dengan senyum khas, berfoto berdua bertiga, sendiri sampai ada yang coba bereksperimen dengan low angle sampai harus tengkurap di lantai kafe itu...jadi bisa dipastikan foto foto mereka dalam durasi 15 menit itu bisa puluhan bahkan ratusan jumlahnya, cukuplah untuk memenuhi album foto mereka di jejaring sosial. Apapun bentuk dan kualitas teknisnya, aktifitas berfoto yang mereka lakukan tetap tergolong dalam aktivitas fotografi.

Fotografi saat ini menjadi hal yang sangat mudah untuk dilakukan, ratusan bahkan ribuan vendor telepon genggam berlomba lomba membenamkan perangkat keras dan lunak yang mendukung fotografi. Alhasil semua orang yang memliki telepon seluler berkamera bisa melakukan aktivitas fotografi. Keadaan yang berbeda bisa dijadikan pembanding ketika fotografi hanya bisa dilakukan oleh orang orang yang pernah belajar dan memilki ilmu tentang fotografi dan pastinya punya atau bisa mengakses alat alat fotografi, Zaman dulu fotografi menjadi barang mewah bagi si empunya. Tidak ada kata instan dalam fotografi zaman dulu, semuanya kompleks dan tidak mudah. Alat yang digunakan pun tidak seperti saat ini, bisa dibayangkan jika puluhan tahun yang lalu ukuran kamera bisa sebesar monitor komputer 17inch, dan pastinya dengan beban yang tidak ringan.

Walaupun demikian tetap saja karya karya foto yang mereka hasilkan adalah karya fotografi, entah beraliran apa namanya. Saya pernah membicarakan fenomena fenomena seperti ini dengan beberapa orang kawan yang aktif dalam dunia fotografi, alhasil mulailah sesi cela mencela dimulai, mulai komentar dari sisi teknis, alat yang digunakan sampai pada membanding bandingkan siapa saja yang berhak menyandang predikat fotografer, apakah kemudian karena mereka menghasilkan karya fotografi lantas disebut fotografer. Menurut saya predikat fotografer bole boleh saja mereka sandang tapi apakah mereka bisa mendapat gelar seorang ilmuwan fotografi, hmmmm tunggu dulu?banyak hal yang harus mereka penuhi sebelum dapat menyandang predikat itu.

Hal tersebut juga berlaku bagi orang orang yang memilki kamera namun tidak mengerti atau paling tidak tahu ilmu fotografi. Mulai dari yang nenteng nenteng kamera kesana kemari dengan lensa super tele, peralatan pencahayaan super mahal, dan berbaju hitam (katanya sih bukan fotografer kalo gak pake baju hitam), belum tentu bisa dikatergorikan seorang ilmuwan fotografi. 

Bagi saya ada beberapa criteria buat mereka yang bisa dijadikan dasar penilaian orang tersebut berhak menyandang predikat ilmuwan fotografi:
1. harus tahu asal muasal dan sejarah tentang fotografi dan latar belakang penemuan ilmu fotografi.
2. bisa menjelaskan dengan sangat ilmiah dan detail tentang proses fotografi berikut teknis proses fotografi.
3. bisa menghasilkan hal hal baru dari fotografi, yahhh paling tidak karya fotografi.
4. ilmuwan fotografi harus menguasai dinamika ilmu fotografi yang berkembang terus menerus.
5. Fotografi bukan hanya sekedar ilmu, fotografi adalah sebuah proses seni, oleh karenanya ilmuwan fotografi seharusnya bisa mengapresiasi semua karya dari proses fotografi.
6. Ilmuwan sering melakukan rekayasa dalam penelitian penelitian ilmiahnya, lantas apakah ilmuwan fotografi boleh melakukan rekayasa, silahkan menentukan pilihan anda.

Ke enam poin diatas adalah criteria yang harus dipenuhi bagi mereka yang ingin menyandang gelar ilmuwan fotografi versi saya, jika ada poin poin yang lain pastinya tidak akan menjadi hal yang sangat sulit untuk didisukusikan kembali.

Tulisan ini pada intinya ingin menggelitik orang orang yang akrab dengan dunia fotografi baik sebagai penikmat karya foto, pelaku fotografi ataupun orang yang hanya berpikir fotografi itu adalah seorang tukang foto diacara pernikahan.


Comments

Popular posts from this blog

The Lucky One

"finding the lights means you must pass through the deepest darkness" Ini pertama kalinya saya mereview film drama bertemakan cinta, yang memenangkan beberapa penghargaan Teen Choice Award. Mungkin akan terdengar sedikit aneh yah, tapi bagaimanapun juga pesona seorang Zac Efron dalam film percintaan tetap saja jadi daya tarik sendiri bagi penggemar remaja hingga dewasa. Dalam film ini, Zac Efron (Logan) memerankan seorang marinir yang baru saja kembali dari perang di Irak dan lawan mainnya Taylor Schiling memerankan Beth. Film ini meneceritakan keberuntungan seorang marinir bernama Logan yang lolos dari maut berulang kali sejak dia menemukan sebuah foto di medan perang, foto seorang perempuan yang tidak pernah dikenalnya. Logan yang terus berusaha mencari dengan menggunakan semua petunjuk yang terdapat dalam foto itu. Akhirnya logan memutuskan untuk berjalan kaki untuk mencari perempuan di dalam foto itu. Sesampainya di sebuah kota bersama anjing peliharaannya,

The Pursuit of HappYness

Jika disuruh menyebutkan siapa aktor favorit saya, Will Smith akan menjadi salah satu yang saya sebutkan setelah Tom Hanks. Bagaimana dengan aktris, jika aktor saya punya banyak jagoan maka saya hanya akan memilih Helena Bonham Carter sebagai aktri favorit saya, Peran Helena dalam Fight Club (1999),Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street (2007) dan yang paling baru The King's Speech (2010)membuat saya langsung jatuh cinta pada aktris kelahiran Golders Green, London, empat puluh enam tahun lalu. Kali ini saya akan coba mereview film karya Gabriele Muccino bergenre drama keluarga berjudul The Pursuit of HappYness. Film ini mungkin tidak begitu terkenal seperti The Departed, Apocalypto, Pans Labyrinth, dan Pirates of The Carribean; Dead Man's Chest yang release di tahun yang sama. Film yang diangkat berdasarkan kisah nyata ini ditulis dengan begitu menarik oleh Steve Conrad dari buku yang berjudul sama. Film yang mengisahkan perjalanan hidup Chris Gardner ini diperankan

Hara-Kiri: Death of a Samurai

Mungkin masih lekat dalam ingatan kita, bagaimana kisah The Last Samurai (2003) yang dibintangi oleh Tom Cruise dan Ken Watanabe. The Last Samurai banyak mengangkat keadaan kultural dan segala intriknya pada masa transisi pasca restorasi Meiji. Kali ini saya tidak akan membahas apa yang terjadi dalam film The Last Samurai, kali ini saya akan mengangkat hal yang lebih detail tentang kehidupan seorang Samurai pada masa Shogun berkuasa. Hara-Kiri: Death of a Samurai inilah judul film yang akan kita bahas kali ini. Disutradarai oleh Takashi Miike dan berlatar belakang Jepang sebelum restorasi Meiji. Hara-Kiri adalah film yang diangkat dari sebuah novel karya Yasuhiko Takiguchi dengan judul Ibun rônin-ki sedangkan skenario nya ditulis oleh Kikumi Yamagishi. Film yang dibintangi Kôji Yakusho, Eita dan Naoto Takenaka ini diproduksi oleh Recorded Picture Company bekerja sama dengan Sedic International dan Amuse Soft Entertainment dengan durasi hampir dua jam. Bergenre drama film ini menyaji