Skip to main content

The Story of The Weeping Camel



Satu lagi film dokumenter yang mencoba bercerita kepada kita kisah hidup sebuah keluarga yang jauh dari peradaban modern saat ini. Sebuah keluarga suku Mongol yang hidup di tandusnya gurun pasir Gobi, Mongolia, dihadapkan sebuah permasalahan dengan hewan ternaknya. Film dokumenter karya Byambasuren Davaa dan Luigi Falorni ini menjadi nominasi Oscar di tahun 2005 untuk kategori Best Documentary Features. Film ini rilis dibulan januari tahun 2004.

Jika pernah menonton film dokumenter Nanook of The North atau film dokumenter yang bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga yang tinggal jauh dari kehidupan modern, urutan dan gaya bercerita film ini mungkin akan mirip. Bagaimana film ini sebisa mungkin menceritakan kisah kehidupan mereka dari aktivitas keseharian hingga masalah masalah yang mereka alami.

The Story of The Weeping Camel, menceritakan sebuah keluarga dari suku Mongol yang hidup di tengah Gurun Gobi yang menghadapi masalah dengan hewan ternaknya. Lahir dengan penuh kesulitan, seekor bayi unta dari hewan ternak mereka adalah seekor bayi unta yang albino. Bayi unta ini kemudia tidak diterima baik oleh induknya dan mengabaikan begitu saja bayi untanya yang perlu menyusu dengan sang induk. Jika terus seperti itu si bayi unta mungkin saja tidak bisa hidup lebih lama.



Suku Mongol percaya bayi unta ini akan terus menangis memelas kepada ibunya hingga ibunya menerimanya. Dalam tradisi suku Mongol, mereka meneyelesaikan masalah seperti ini dengan sebuah ritual yang disebut Hoos. Sebuah ritual dimana seorang musisi akan memainkan alat musik tradisional di depan induk unta tadi, mereka percaya dengan musik tradisional ini si induk akan berubah pikiran dan akan menerima si bayi. Benar saja setelah melakukan ritual yang dibantu oleh seorang musisi yang dipanggil dari kota terdekat, akhirnya si induk unta mau menerima, menyusui dan menjaga anaknya.



Jelas dalam sajian film yang berdurasi 87 menit ini bagaimana alunan musik yang dibawakan oleh musisi tadi membuat induk unta gelisah hingga menitikan air mata.




Dalam film ini dikisahkan bagaimana keluarga Janchiv (Janchiv Ayurzana) yang hidup dengan putra putri serta cucu mereka hidup dengan penuh kesederhanaan. Bahkan dalam film ini satu satunya teknologi yang mereka miliki hanyalah sebuah pesawat radi analog yang menggunakan batterai. Cucu kedua Janchiv, Ugna (Uuganbaatar Ikhbayar) yang pergi bersama kakaknya, Dude (Enkhbulgan Ikhbayar) untuk memanggil sang musisi tadi, ingin punya televisi untuk bisa menonton. Sepulangnya di rumah Ugna meminta dibelikan televisi kepada ayahnya Ikche (Ikhbayar Amgaabazar), sayangnya selain mahal, tempat tinggal Ugna pun tak dialiri listrik.

Pesan pesan kesederhanaan dan hangatnya keluarga, menjadi tema besar yang mendominasi film dokumenter ini. Sisi sisi lain dari kehidupan suku Mongol di tengah gurun Gobi juga menjadi hal yang mungkin belum pernah kita saksikan sebelumnya.

Comments

Popular posts from this blog

TOEFL :"aku telah berubah"

Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah tulisan dari kawan tentang tes bahasa inggris palsu, dan saya juga tergerak untuk menulis tentang hal yang sama. Menjadi catatan bahwa saya bukan orang yang latar belakang pendidikannya bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, namun sejak kecil saya dekat dengan ilmu bahasa. baik itu bahasa ibu kita bahasa Indonesia ataupun bahasa asing seperti bahasa Inggris. Saya bahkan harus jauh jauh ke Oregon State University untuk sekedar memperbaiki nilai TOEFL walaupun kemudian gak berubah juga (hhhheehee).Terus mencoba Menilik ke tulisan teman sebelumnya, soal tes bahasa inggris yang digunakan pemerintah sebagai syarat penerimaan cpns yang saat ini lagi heboh dimana mana. Masalah yang dijadikan topik bahasa dari tulisan teman saya adalah tentang tes bahasa inggris yang dijadikan persyaratan adalah tes yang palsu. Saya setuju dengan apa yang dikatakan teman itu dalam tulisannya bahwa, birokrat negara ini mungkin terlalu sibuk dengan urusan urusan ya...

The Lucky One

"finding the lights means you must pass through the deepest darkness" Ini pertama kalinya saya mereview film drama bertemakan cinta, yang memenangkan beberapa penghargaan Teen Choice Award. Mungkin akan terdengar sedikit aneh yah, tapi bagaimanapun juga pesona seorang Zac Efron dalam film percintaan tetap saja jadi daya tarik sendiri bagi penggemar remaja hingga dewasa. Dalam film ini, Zac Efron (Logan) memerankan seorang marinir yang baru saja kembali dari perang di Irak dan lawan mainnya Taylor Schiling memerankan Beth. Film ini meneceritakan keberuntungan seorang marinir bernama Logan yang lolos dari maut berulang kali sejak dia menemukan sebuah foto di medan perang, foto seorang perempuan yang tidak pernah dikenalnya. Logan yang terus berusaha mencari dengan menggunakan semua petunjuk yang terdapat dalam foto itu. Akhirnya logan memutuskan untuk berjalan kaki untuk mencari perempuan di dalam foto itu. Sesampainya di sebuah kota bersama anjing peliharaannya, ...

Eternal Sunshine of The Spotless Mind

"How happy is the blameless vestal's lot?the world forgetting,by the world forgot.Eternal Sunshine of the spotless mind, Each pray'r accepted, and each wish resigned". Alexander Pope Maaf kalo film ini sudah terlalu lama untuk dijadikan sebuah tulisan atau ulasan dalam blog ini. Pastinya, film ini patut untuk dinonton bagi siapa saja yang sedang merasakan hal yang sama atau dalam kasus yang berbeda sekalipun. Menghapus ingatan dalam kepala kita bisa jadi pilihan yang sangat menggoda, walaupun kemudian akan banyak hal yang menjadi dampaknya. Apapun namanya, aktivitas kita berinteraksi dengan orang lain adalah pengalaman yang sangat berharga sebagai makhluk sosial yang kadang asosial. Waktu adalah hal yang menjadi dominan dalam peran keberlangsungan kemampuan memory otak kita untuk mengingat sesuatu hal. Banyak lah kalimat kalimat bijak yang mengarahkan kita untuk yakin bahwa waktu akan bisa menghapus sesuatu tak peduli itu baik atau buruk, itu senang atau baha...