Skip to main content

Samata, Today's Journey

Bunyi tak berdefenisi datang dari pengeras suara milik masjid, dan dingin subuh mulai mengusik tidurku yang benar benar lelap. Bantal guling yang jumlahnya tak hanya sepasang berhamburan di atas kasur, sebagian bahkan jatuh ke lantai, dilewati kecoa atau binatang bintang penghuni tetap rumah yang lama kosong. Melirik ke arah telepon seluler yang masih mengisi batterainya, kelap kelip lambu birunya juga masih samar samar ku lihat. Mata yang belum mebuka sepenuhnya melihat notofikasi notifikasi pesan yang masuk setelahku tertidur. Televisi yang disudut kamarpun masih setia menontonku tertidur dan berusaha membangunkan diri. Entah mimpi apa semalam seketika saya bisa lupa tereliminasi ingatan yang harus keluar dari folder pikiran selanjutnya. yah...benar saya harus mengajar pagi ini, dengan berucap syukur telah diberi kesempatan bangun kembali, menikmati segala macam nikmat baru yang dipinjamkan.
Satu persatu mata ini kubersihkan kasar dengan jemari tangan, agar bisa membuka lebar. Menggapai ujung kasur dan kemudian duduk sejenak, untuk kembali menyadarkan diri. Dalam tiga puluh menit semua rutinitas badan siap sekejap. Saatnya membuka pintu rumah dan mematikan lampu yang sejak semalam ronda untuk rumah kecil ini. Satu persatu kaos kaki yang masih tergantung di jemuran kupakai, menyusul sepasang boot yang penuh jasa menyelematakan dari cacat jari jemari dua tahun lalu, walau agak dekil boot ini tetap saja nyaman untuk menemani jalan sejauh apapun itu. Pintu rumah yang catnya belang karena belum sempat diselesaikan pengecatannya, kututup rapat dan terkunci, ku pastikan semua jendela juga tertutup rapat.
Dimulailah sebuah perjalanan hari ini, jarak untuk sampai ke jalan besar cukup untuk sembari berjalan dan menjawab sms yang belum terbalas, oh ya saya juga belum tahu dan mendapatkan informasi bagaimana untuk bisa sampai ke tujuan saya hari ini. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya ke tempat ini, namun ini menjadi tidak biasa karena harus menggunakan angkutan kota, maklum jalur angkutan kota alias pete pete yang saya kenal hanya rumah-kampus-rumah. Selebihnya jalanan di kota ini biasa saya jajah dengan kendaraan bermotor. Dengan semangat yang biasa biasa saja dengan energi yang cukup saya mulai naik angkutan kota untuk ke kampus. Angkuta kota dari rumah ke kampus pagi ini tidak terlalu padat, praktis di dalam angkot itu hanya ada empat orang penumpang, seorang ibu PNS, seorang ibu dengan anak perempuannya dan satunya lagi seorang bapak yang nampaknya akan menuju sebuah kantor yang mengurus dana pensiun, karena bisa dengan jelas saya melihat map plastik merah jambu yang didalamnya ada buku tabungan pensiunan. Karena tidak tahu ingin berbuat apa jadi saya memutuskan membaca buku ilmu komunikasi massa yang saya pinjam paksa dari mini library di kampus. Konsentrasi tiba tiba buyar saat supir angkot mulai memutar lagu dangdut remix ayu ting ting, dan dari sudut angkot yang lain si anak kecil yang dibawa oleh ibunya juga mulai merengek meminta sesuatu, entah apa itu, tetapi syukurlah lima ratus meter lagi pemberhentian saya di kampus.
Segera saya turun dan membayar angkutan kota dengan tiga lembar uang kertas yang mulai kucel, gambar Kapitan Ptimuranya pun mulai tampak samar. Saya mulai mencari spot yang paling nyaman untuk menunggu angkot selanjutnya, tapi saya masih bingung angkot yang mana lagi yang akan saya gunakan untuk menuju destinasi saya. Saya kemudian keluarkan telepon seluler dari kantong kiri celana jeans dan membuka fasilitas chatting dengan salah seorang junior di kampus yang katanya "anak gaul makassar", semoga dia bisa sedikit membantu. Mulai lah saya bertanya tentang angkutan kota menuju destinasi saya selanjutnya dan dia menjawab dengan jelas, tanpa berlama lama, karena hampir telat dari jadwal, saya naik angkutan kota yang disarankan. Benar saja angkutan kota yang disarankan oleh junior yang anak gaul ini berbuah hasil yang bagus, saya akhirnya tiba di destinasi kedua.
Selanjutnya saya harus berjalan dua ratus sampai 300 meter untuk menuju pick up point selanjutnya, syukurlah udara dan hawa ini sangat mendukung untuk berjalan kaki dengan menggendong tas ransel yang sudah hampir lima tahun menemani saya, berat bawaan tas saya memang tak pernah ringan paling ringan lima kilogram, lumayanlah jadi pemberat buat latihan otot. Pada saat berjalan saya mengingat informasi yang diberikan salah seorang kawan akan posisi pick up point selanjutnya, dia yakin ada angkutan kota di pick up point tersebut, namun tetap saja ini butuh pembuktian. Dengan modal bertanya kepada penjual pulsa di pinggir jalan dan celingak celinguk kiri kanan akhirnya say menemukan angkutan kota yang selanjutnya aan membawa saya ke destinasi terakhir. Sebelumnya si penjual pulsa berpesan angkutan kota itu akan berangkat bila mobilnya sudah penuh. Ternyata sewaktu menyeberang ke lokasi mangkal angkutan tersebut ada satu angkutan yang melintas di depan ku, sambil menupuk jidat saya menggerutu, Waduh telat.
Sesampai di tempat mangkal angkutan itu, para supir sudah mulai memanggil manggil untuk segera naik, saya menolak. Terang saja saya menolak di dalam angkot itu tidak ada satu pun penumpang, itu artinya angkot ini belum akan jalan 5 atau 10 menit ke depan, maka saya memutuskan untuk nongkrong bersama supir angkot tadi yang sedang merokok dan minum kopi sambil bercerita dengan bahasa makassar yang saya tidak tahu benar apa artinya saya hanya bisa tersenyum karena mereka tertawa dalam cerita mereka. 20 menit berselang akhirnya angkutan kota itu penuh, pak supir pun berpamitan dengan temannya. Sejak tadi sebenarnya saya memperhatikan apa yang aneh dari angkot ini, ternyata angkot ini tidak selayaknya angkot yang lain yang memiliki stiker trayek di kaca depannya angkot ini hanya punya stiker kecil bertuliskan tujuan mereka. Karena ini perjalanan pertama saya dengan menggunakan angkutan kota ke tempat tujuan saya ini, perjalanan ini berasa lama sekali, setelah menghitung hitung waktu tempuh sejak dari rumah tadi sampai di destinasi ketiga ini saya memerlukan satu setengah jam. Jalan yang dilalui untuk sampai ke tujuan terakhir ini sangat lengang, mungkin karena jalanan ini baru dibuka dan jarang kendaraan yang lalu lalang di jalan ini. Saya bahkan tidak tahu ini masih daerah makassar atau bukan, tidak ada tanda tanda atau petunjuk jalan yang saya lihat atau mungkin pandangan saya terbatas karena saya duduk dengan menghadap ke arah yang berlawanan dari arah mobil.
Saya mulai gelisah karena saya benar benar telat, saya kemudian mengirim pesan singkat ke salah satu mahasiswa untuk tetap menunggu hingga saya datang, tidak terbayang kalau dengan durasi dan jarak yang lumayan ini sesampainya saya di kampus itu saya tidak menemukan satu pun mahasiswa. Syukurlah setelah 15 menit diperjalanan akhirnya saya tiba di Kampus II UIN, Samata, Gowa. Benar saja menjadi latihan yang cukup berkesan buat saya hari ini, dan menjadi pembuktian saran seorang kawanuntuk ke Samata dengan menggunakan angkutan kota, banyak hal yang belum saya lihat dari perjalanan ke Samata.

Comments

Popular posts from this blog

The Lucky One

"finding the lights means you must pass through the deepest darkness" Ini pertama kalinya saya mereview film drama bertemakan cinta, yang memenangkan beberapa penghargaan Teen Choice Award. Mungkin akan terdengar sedikit aneh yah, tapi bagaimanapun juga pesona seorang Zac Efron dalam film percintaan tetap saja jadi daya tarik sendiri bagi penggemar remaja hingga dewasa. Dalam film ini, Zac Efron (Logan) memerankan seorang marinir yang baru saja kembali dari perang di Irak dan lawan mainnya Taylor Schiling memerankan Beth. Film ini meneceritakan keberuntungan seorang marinir bernama Logan yang lolos dari maut berulang kali sejak dia menemukan sebuah foto di medan perang, foto seorang perempuan yang tidak pernah dikenalnya. Logan yang terus berusaha mencari dengan menggunakan semua petunjuk yang terdapat dalam foto itu. Akhirnya logan memutuskan untuk berjalan kaki untuk mencari perempuan di dalam foto itu. Sesampainya di sebuah kota bersama anjing peliharaannya,

The Pursuit of HappYness

Jika disuruh menyebutkan siapa aktor favorit saya, Will Smith akan menjadi salah satu yang saya sebutkan setelah Tom Hanks. Bagaimana dengan aktris, jika aktor saya punya banyak jagoan maka saya hanya akan memilih Helena Bonham Carter sebagai aktri favorit saya, Peran Helena dalam Fight Club (1999),Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street (2007) dan yang paling baru The King's Speech (2010)membuat saya langsung jatuh cinta pada aktris kelahiran Golders Green, London, empat puluh enam tahun lalu. Kali ini saya akan coba mereview film karya Gabriele Muccino bergenre drama keluarga berjudul The Pursuit of HappYness. Film ini mungkin tidak begitu terkenal seperti The Departed, Apocalypto, Pans Labyrinth, dan Pirates of The Carribean; Dead Man's Chest yang release di tahun yang sama. Film yang diangkat berdasarkan kisah nyata ini ditulis dengan begitu menarik oleh Steve Conrad dari buku yang berjudul sama. Film yang mengisahkan perjalanan hidup Chris Gardner ini diperankan

Hara-Kiri: Death of a Samurai

Mungkin masih lekat dalam ingatan kita, bagaimana kisah The Last Samurai (2003) yang dibintangi oleh Tom Cruise dan Ken Watanabe. The Last Samurai banyak mengangkat keadaan kultural dan segala intriknya pada masa transisi pasca restorasi Meiji. Kali ini saya tidak akan membahas apa yang terjadi dalam film The Last Samurai, kali ini saya akan mengangkat hal yang lebih detail tentang kehidupan seorang Samurai pada masa Shogun berkuasa. Hara-Kiri: Death of a Samurai inilah judul film yang akan kita bahas kali ini. Disutradarai oleh Takashi Miike dan berlatar belakang Jepang sebelum restorasi Meiji. Hara-Kiri adalah film yang diangkat dari sebuah novel karya Yasuhiko Takiguchi dengan judul Ibun rônin-ki sedangkan skenario nya ditulis oleh Kikumi Yamagishi. Film yang dibintangi Kôji Yakusho, Eita dan Naoto Takenaka ini diproduksi oleh Recorded Picture Company bekerja sama dengan Sedic International dan Amuse Soft Entertainment dengan durasi hampir dua jam. Bergenre drama film ini menyaji